BAB I
HAKEKAT KEMATIAN MANUSIA MENURUT
MARTIN HEIDEGGER
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ia merasa damai, senang, hidup dalam
kesunyian dan mencurahkan segala waktu dan tenaganya kepada usaha filosofisnya.
Pemikirannya yang mendasar dan fokus pada satu pemikiran yakni eksistensialis,
membuat ia dikenal dunia dengan satu kalimatnya. “Bukan apanya yang di
dahulukan tetapi bahwanya yang didahulukan”. Martin Heidegger, merupakan
seorang filsuf muda dari Jerman dengan pemikiran tentang eksistensi. 26
September 1889 ia dilahirkan di kota kecil Messkirch, dan ayahnya merupakan
seorang pendeta Katolik Santo Martinus. Pada mulanya ia belajar teologi di Feirdburg,
hingga akhirnya ia memutuskan untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan
alam maupun ilmu pengetahuan manusia. Kala itu Heinrich Rickert yang memegang
fakultas filsafat di Freidburg, setelah ia meninggal barulah digantikan oleh Edmund
Hussrel yang terkenal dengan aliran fenomenologinya. Kedatangan Hussrel membawa
perubahan penuh bagi Heidegger dengan pemikiran fenomenologinya, yang kemudian oleh
Heidegger karya-karya Hussrel ini dipelajari. Hussrel sangat terkagum dengan
kecerdasan Heidegger dan mengangkatnya sebagai asisten dan beranggapan bahwa ia
akan meneruskan pemikiran fenomenologinya.[1]
Banyak para filsuf yang menyamakan antara being
(sein; ada, manusia) dengan beings (seined; benda),
sehingga mereka akan menganggap bahwa manusia itu sama halnya dengan benda. Menurut
Heidegger pertanyaan tentang hakekat Ada itu dapat dijawab secara ontologis
dengan menggunakan metode fenomenologi yang ia pelajari dari Hussrel. Metode
ini digunakan Heidegger untuk menjelaskan tentang kesadaran kepada
“kemanusiaannya”, dan berbanding terbalik dengan Hussrel yang menggunakan
metodenya untuk menjelaskan “kesadaran” manusia.[2]
Mengapa Heidegger menjadikan “ada” (being)
sebagai dasar filsafatnya. Pertama, situasi zamannya yang kosong akan kesadaran
Tuhan disebabkan karena kosongnya makna “ada” bagi manusia modern. Hanya
mengerti Sang Ada saja, eksistensi manusia akan menjadi sejati. Kedua,
ketidakmampuan manusia dalam memahami Tuhan dan tidak mampu menangkap
kehadiran-Nya disebabkan bahasa lisan mengenai “ada” tidak didengarkan, dan
tidak dikembangkan lagi, sehingga harus berusaha menemukan sang Eksistensi,
yaitu “ada” untuk dibahasakan kembali dan diberi arti baru.[3]
Dua struktur “ada” ini dibahas dalam adanya manusia dengan metode fenomenologi
Hussrel. Cara berada manusia menunjukkan kesatuan dengan alam jasmani. Manusia
selalu mengkontruksikan dirinya dalam alam jasmani menjadi satu susunan. Dengan
kata lain, manusia selalu membelum: ia sedang ini, sedang itu. Jadi manusia
selalu menyedang, Sartre menyatakan bahwa hakikat beradanya manusia bukan etre
(ada), melainkan a etre (akan/sedang). Jadi, manusia selalu membangun ada-nya.[4]
Manusia hidup di dunia dibedakan atas dua
jenis yakni, laki-laki dan perempuan. Begitu halnya nilai dalam kehidupan
berupa baik-buruk, indah-jelek, benar-salah, serta hidup dan mati. Dalam
kehidupan di dunia manusia dibebaskan memilih untuk melakukan semua hal. Begitu
halnya melakukan kebaikan dan keburukan setiap waktu. Banyak sekali manusia
yang mementingkan kehidupan dunia dari pada kehidupan akherat. Dunia bagi
mereka adalah yang terpenting dan utama untuk mewujudkan semua keinginan,
tetapi bila sudah sampai pada pertanyaan, siapkah mati sekarang? Mereka terus
berusaha untuk menghindar dan mencari cara untuk hidup abadi. Tidak sedikit
dari mereka yang menuhankan sesuatu yang mistis dan keramat selain Allah. Maka
dari itu, manusia diberi akal untuk berfikir dan memutuskan sesuatu sebelum
melakukan sesuatu.
Dalam konteks ini, kematian sering menjadi
momok yang menakutkan. Manusia sering bertanya dalam hati, bila sudah mati
berarti akhir dari kehidupan dan sudah tidak ada kehidupan yang lainnya. Menurut agama pertanyaan seperti itu salah besar, karena kematian bukanlah akhir dari
kehidupan melainkan fase menuju kehidupan selanjutnya yakni alam akherat. Banyak
yang mengartikan alam akherat adalah kehidupan yang sebenarnya. Di mana manusia
mendapat balasan dengan apa yang telah dilakukannya selama di dunia. Mereka
berfikir, bagi mereka yang beramal shaleh ditampakkan sebuah potret kebahagiaan
dan kehidupan enak di surga. Sedangkan mereka yang sering melakukan kemaksiatan
dan bergelimang dosa akan mendapatkan siksaan sampai hari kiamat kelak tiba. Masalah
kebahagiaan dan siksaan di alam akherat nantinya merupakan hal yang ghaib dan
hanya Allah yang mengetahuinya.
Bagi mereka yang berfikir praktis dengan
keilmuan yang terus berkembang, kematian adalah suatu siklus kehidupan yang
akan dialami oleh semua mahluk yang hidup di dunia. Alam akherat merupakan alam
dimensi lain yang abadi dan berbeda dari kehidupan di dunia sebelumnya. Manusia
sangat menakuti kematian karena mungkin mereka berfikir akan mengalami
kehidupan yang berbeda dari dunia sebelumnya dan itu dipastikan. Mereka harus
melupakan antara baik-buruk, indah-jelek, benar-salah. Mereka akan melupakan
semua orang-orang yang didekatnya dan berfikir untuk dirinya sendiri.
Kematian merupakan konsekuensi kehidupan
bagi manusia maupun mahluk lainnya yang ada di alam semesta dan jagat raya. Dalam
kematian, manusia dihadapkan dua hal yakni, kematian merupakan resiko kehidupan
dan karenanya tidak seorang pun yang hidup kecuali akan mati. Selanjutnya,
makin banyak orang yang disentuh oleh malapetaka, makin ringan sentuhan di hati
mereka. Sedangkan, malapetaka kematian menyentuh semua orang dan seharusnya
tidak menimbulkan kesedihan yang berlarut-larut.[5]
Manusia diciptakan Allah dengan tujuan utama bahwa ia berasal dari-Nya dan akan
kembali pada-Nya. Adanya kematian merupakan jalan menuju kehidupan yang
sebenarnya, yakni kehidupan yang asal, kehidupan yang tidak terkena maupun tersentuh oleh
kematian seperti orang jawa mengatakan “urip tan keno ing pati”.[6]
Tidak hanya manusia yang mengalami
kematian, jin dan semua mahluk Nya termasuk malaikat akan mengalami kematian. Hanya
saja yang akan mendapatkan hisab hanyalah manusia dan jin. Kematian seseorang
merupakan salah satu dari lima hal yang mutlak dan menjadi hak Allah, yakni:
(QS. Al Luqman [31]:34 juz 21)[7]
1. Pengetahuan tentang hari akhir,
2. Turunnya hujan,
3. Segala hal yang berkaitan dengan
kandungan/rahim,
4. Apa yang akan terjadi esok atau di masa
mendatang, dan
5. Tempat seseorang akan mati
Manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya
besok atau yang akan diperolehnya. Namun
demikian mereka diwajibkan untuk berusaha.[8] Kematian manusia dibedakan menjadi dua hal yakni,
kematian Su’ul khatimah dan kematian Khusnul Khatimah. Seperti
halnya perbuatan baik buruk manusia mempengaruhinya dalam kematian nanti. Semua
itu didasarkan pada keyakinan manusia itu sendiri. Banyak yang meyakini
kematian Khusnul Khatimah akan mendapatkan kebahagiaan hingga tiba hari
kiamat kelak. Begitu sebaliknya dengan Su’ul Khatimah siksaan dan
penderitaan yang terus-menerus. Karena kebahagiaan yang akan diperoleh manusia
kelak di akherat tidaklah gratis dan tidak mungkin mengandalkan doa dan kasih
sayang Allah.
Persoalan kematian, dengan sebab dan
akibatnya, serta surga dan neraka, harus terus-menerus diingat dan direnungkan
agar menjadi pondasi kita dalam menjalani kehidupan. Kematian dan kehidupan
dialam akherat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, serta mempunyai
kaitan yang sangat erat dengan kehidupan manusia di dunia. Dapat dinyatakan
bahwa kematian yang terjadi dalam kehidupan, tidak hanya sebagai proses
peralihan dari kehidupan di suatu alam yang lain, yang pada puncaknya berada
dalam kehidupan abadi, atau alam akhirat.[9] Selama
kita masih di dunia, marilah kita terus berupaya untuk mendapat kehidupan yang
bahagia di akherat nantinya. Dalam
hidupnya Heidegger ingin mengetahui keadaan manusia sebelum keadaan itu
sendiri, kemudian ia melakukan penelitian secara ilmiah dalam wujudnya yang
belum ditafsirkan. Hasil usahanya ini menemukan dasein berarti “berada di dalam dunia”.[10]
Maka dari itu manusia dapat memberi tempat pada benda-benda disekitarnya, dan
dapat berkomunikasi dengan manusia yang lainnya. Keberadaan manusia ini
merupakan sebuah “situasi terlempar” –nya itu ke dunia atau Gowerfenheid. Manusia yang lebih
mementingkan kebahagiaan di dunia yang bersifat sementara dan selalu menyibukkan
dengan kesibukan duniawi tanpa memikirkan kehidupan nantinya setelah mati. Dalam
realita
yang ada, banyak manusia yang terus mengejar impian dan karier yang menunjang
kehidupan. Mereka terus
mencari harta kekayaan dan berfikir dengan banyaknya harta yang dimilikinya
mereka akan bisa hidup tenang dan bahagia. Realita seperti ini merupakan salah
satu contoh, kesibukan manusia dengan urusan dunia dan melupakan adanya akhir
dari hidup di dunia ini yakni mati.
Seperti yang sudah disediakan oleh Allah
bahwa setiap waktu siang dan malam mereka mengatur jasad, malam untuk
beristirahat atau menentramkan diri, dan siang untuk bekerja mencari nafkah
memenuhi kebutuhan “hidup”. Hidup itu sendiri sebenarnya dalam alam dunia ini
hanya untuk “menunda kematian”. Menentramkan diri tidak berarti harus bersantai
dan memanjakan tubuh, melainkan harus merenungkan arti hidup yang sebenarnya
untuk menemukan jalan hidup sejati.[11]
Harun Hadiwijono menjelaskan, kematian yang
dikaitkan dengan eksistensi bukan berarti manusia itu akan mati, melainkan
mendahului dari kematian itu sendiri. Jalan yang menuju kepada hidup yang
sejati, kepada keputusan yang pasti, kepada pengetahuan yang benar, kepada
eksistensi yang sebenarnya, terletak dalam suatu kepastian yang temporal, dalam
menanggung kepastian yang terakhir, yaitu kematian.[12]
Manusia harus menyadari akan kematian itu dengan merenungkan
kematian itu sendiri. Menurut Heidegger, hidup manusia merupakan suatu kehadiran yang tertuju
pada kematian.[13]
Maka dari itu ia, memikirkan
kematian hingga membuatnya harus meninggalakan Jerman setelah perang pada tahun
1945, dan tidak dibolehkan mengajar sampai tahun 1951. Hingga akhir hayatnya ia
mengasingkan diri hidup dalam kesepian di sebuah pondok di Freiburg pada
tahun 1976.[14] Heidegger
terus memikirkan bagaimana caranya keluar dari belenggu oleh “pendapat orang
banyak” dan menemukan dirinya sendiri. Andai di lihat dari segi waktu, manusia
harus merencanakan dirinya sampai pada kemungkinan terakhir yang tidak dapat
dielakan, yakni kematian. Kematian merupakan batas terakhir dari keberadaan
kita sebagai eksistensi.[15] Menyibukkan diri dengan kehidupan duniawi secara tidak langsung kita
telah melupakan kematian yang akan dijalani oleh setiap mahluk hidup. Pemikiran
Heidegger yang diantaranya adalah kehidupan, kematian dan lahirnya manusia di
dunia ini merupakan sebuah terlempar-nya, yang tidak mengetahui “dari mana”
asal-nya dan “akan kemana” tujuannya. Semua itu akan terjadi bila kita
(manusia) mulai berpikir, “dari mana” dan “akan kemana”. Pemikiran Heidegger
tentang kematian yang membuatnya hidup sendiri dalam keterasingan membuat ia
menjadi stress dan akhirnya gila karena memikirkan bahwa adanya akhir dari
kehidupan ini. Kematian di sini bukan akhir hidup yang biasa, seperti jalan
yang ditentukan akhirnya atau seperti buku sampai pada penutupnya, yakni tamat.
Kematian ini merupakan suatu akhir yang
hadir setiap saat. Ketakutan, kecemasan, membuat manusia untuk menyibukkan diri
dan ingin membungkam suara kamatian itu sendiri dan melupakannya.[16]
Menurut Heidegger, hidup manusia adalah
suatu kehadiran yang tertuju ke arah kematian. Kematian merupakan kepastian
secara psikologis dan mempunyai pengaruh sangat besar dalam bawah sadar
kehidupan seseorang dalam setiap perilaku manusia. Menurut keyakinan berbagai
filsuf kematian bukanlah akhir dari perjalanan hidup seseorang. Mati bukanlah
suatu terminasi tetapi merupakan garis transisi untuk memulai hidup baru di
alam yang baru.[17]
Pemikiran kematian dari Heidegger inilah yang mendasari peneliti untuk meneliti
lebih lanjut arti/makna dan menggali lebih dalam. Apa yang menjadi ketakutan
dan menjadi kecemasan setiap manusia dalam menghadapi kematian yang merupakan
salah satu rangkaian dari siklus kehidupan itu sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
Merujuk pada latar belakang masalah yang
dipaparkan diatas maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Apa makna kematian manusia?
2. Bagaimana pemikiran Martin Heidegger
tentang kematian manusia dan relevansinya terhadap agama Islam?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui hakekat kematian manusia.
2. Mengetahui pemikiran Heidegger tentang kematian manusia.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dan kegunaan dalam penelitian ini,
memberikan manfaat secara praktis maupun akademis bagi para pembaca maupun bagi
peneliti sendiri. Adapun manfaat praktisnya adalah
1. Memberikan informasi pada pembaca maupun
pada masyarakat umum.
2. Menggembangkan keilmuan dan memperkaya
khasanah untuk memperbaiki kehidupan di masa depan.
Selain manfaat praktisnya, penelitian ini
juga memberikan kegunaan secara akademis diantaranya.
1. Mendapat pemahaman yang lebih mendalam
tentang hakekat kematian manusia.
2. Memahami lebih jelas dari pemikiran Martin
Heidegger tentang kematian manusia.
E. TINJAUAN PUSTAKA
Berbagai penelitian yang dilakukan untuk
mengungkap makna kematian maupun kehidupan sering dilakukan oleh peneliti lain diantaranya:
Penelitian yang dilakukan oleh Syahirul
Alim (2006) yang meneliti tentang Konsepsi Kebangkitan Manusia dari Kematian
dalam Al Qur’an (Studi Tafsir Tematik). Penelitian ini lebih menekankan pada
konsepsi kebangkitan manusia yang diawali dengan kiamat, sebagai keterangan
surat at-Taqwir dan surat insiqaq ayat 1-5. Surat-surat ini
menegaskan bagaimana hebatnya hari kiamat itu. Matahari yang berguling jatuh
dari tempatnya, bintang-bintang berterbangan terpelanting kesana-sini,
gunung-gunung pecah belah dan lautan naik meluap kedaratan, serta kubur-kubur
terbongkar dan terbalik sehingga menjadikan kosong didalamya. Ketika itu semua
manusia mati ketakutan sehingga berkumpul-kumpul selamanya. Waktu itu rubuhlah
bumi dan bertukarlah alam yang lama dengan alam yang baru yaitu alam akherat,
sehingga semua manusia musnah dan semua alam rusak binasa dan tiada yang
tinggal melainkan Allah sendiri-Nya.
Penelitian Etik Listiana Rahmawati (2007)
dengan judul Konsep Hidup Sesudah Mati (Kajian Komparatif Normatif antara Islam
dan Kristen). Tiada tempat tinggal bagi seseorang yang akan dihuni setelah
kematiannya, kecuali tempat tinggal yang telah ia bangun sebelum kematiannya. Jikalau
membangunnya dengan kebaikan maka indahlah tempat tinggal itu, namun jika
dibangun dengan keburukan dan bergelimangan dosa-dosa niscaya merugilah
pemiliknya. Jika seseorang itu terlalu mencintai dunia, padahal ia tahu zuhud
di dunia adalah dengan meninggalkannya. Maka tanamlah pokok ketaqwaan itu
selama kamu mampu. Ketahuilah kamu akan menjumpainnya setelah kematian.
Seperti dengan penelitian yang dilakukan
oleh Sunaidi Erfatra dalam penelitian Tesis-nya berjudul Kematian Paradok
antara ada dan tiada (Analisis kritis terhadapa pemikiran Martin Heidegger). Penelitian
ini menjelaskan tentang pemikiran Heidegger tentang makna “ada”. Menurutnya Being
tidak lagi dimaknai dengan Ada, melainkan Mengada. Artinya, manusia tidak
semata-mata dipandang sebagai pelaku pasif dalam memahami dan menyelidiki Ada,
tetapi manusia justru sebagai pelaku aktif dalam memaknai Ada. Bagi Martin
Heidegger, pengalaman tentang Ada yang dimaknai oleh Kierkegaard masih berbau
moralitas dan religius. Manusia belum dipandang sebagai subyek yang mampu
berdiri sendiri dalam memaknai hidupnya.
Penelitian dari Etik Wahyuni (1999) dengan
judul tentang Arti Kematian Menurut Martin Heidegger dan Karl Jesper (Studi
Komparasi). Penelitian ini lebih membahasan tentang perbandingan arti kematian
oleh kedua tokoh filsuf ternama dan tertutama mereka termasuk dalam aliran yang
sama yakni Eksistensialisme. Tetapi dalam mengartikan tentang kematian mereka
mempunyai perbedaan.
Sedangkan penelitian ini lebih memfokuskan pada
hakekat kematian manusia dan pemikiran tentang kematian manusia menurut tokoh
filsuf Martin Heidegger yang kemudia direlevansikan dengan agama Islam. Karya-karya
tersebut akan memberikan inspirasi pada penulis untuk menyelesaikan penelitian
yang berkaitan dengan makna kematian manusia.
F. KERANGKA TEORI
Kematian dan kehidupan merupakan dua kaitan
yang tidak bisa di pisahkan, kedua kata ini mempunyai arti tersendiri. Kedua
kata itu terdiri dari kata dasar yakni “mati” dan “hidup”. Keduanya mempunyai
arti tersendiri dan bukan merupakan lawan kata, karena kata “hidup” bukan lawan
kata dari “mati”. Sebab kata “mati” merupakan lawan kata dari “lahir” dan
pengertiannya lahir adalah awal kehidupan sedangkan, mati merupakan akhir dari
kehidupan.[18]
Hidup dan kehidupan diartikan berbeda, karena hidup merupakan keadaan suatu
benda yang karena kekuatan zat Yang Maha Kuasa benda itu dapat benafas. Seperti
misalnya fungsi paru-paru dan peredaran darah bagi manusia. Kehidupan merupakan
serba-serbi dari pada hidup itu sendiri, mulai dari lahir sampai nanti matinya
suatu mahluk. Seperti halnya perkawinan dengan segala serba-serbi seperti
peminangan, pertunangan dan perceraiaan.[19] Hidup
sejati menurut Siti Jenar, tak tersentuh kematian, badan yang berupa tulang
sumsum, otot dan daging, hanyalah perangkap bahwa hidup di dunia ini tersesat. Hidup
yang sebenarnya itu tanpa raga. Justru, dengan adanya raga ini menimbulkan
banyak persesatan, godaan, iblis, dan setan. Raga adalah krangkeng bagi diri
atau jiwa.[20]
Menurut Siti Jenar, hidup ini tanpa raga. Bila orang itu hidup maka hanya diri
pribadinya yang ada. Tidak merasakan haus, lapar, dan lesu, yang ada hanyalah
selamat dan bahagia. Jadi, orang orang yang hidup sekarang ini hanyalah
menyiapkan diri memasuki kehidupan yang sebenarnya.
Hubungan antara jiwa/roh dengan tubuh merupakan dua kaitan yang
sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang saling
menguntungkan dan merupakan substansi yang berbeda. Ahmad Ali Riyadi,
menjelaskan tentang hubungannya jiwa dengan tubuh,
“Pertama,jasad merupakan bagian dari alam, tersusun dan terbentuk dari
tanah dan tidak sempurna. Kedua,yakni jiwa, merupakan substansi
inmaterial yang berdiri sendiri, berasal dari ‘alam al-amr, tidak
bertempat, mempunyai pengetahuan yang mengetahui dan menggerakkan, mempunyai
sifat dasar kekal dan diciptakan. ”[21]
Melihat kehidupan sehari-hari, mati adalah
keniscayaan. Orang dapat menyadari bahwa dirinya akan
mati dan akan meninggalkan kehidupan di dunia ini. Banyak yang mengatakan, yang
akan meninggalkan kehidupan di dunia hanyalah roh, jiwa, atau nyawa. Raga atau
tubuh tetap ada dan kembali pada asalnya. Orang zaman dulu mengartikan mati
dengan menghilangnya denyut nadi seseorang. Ada yang mengartikan dengan
berhentinya detak jantung seseorang. Pengaruh dari majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi, mati diartikan dengan mendatarnya safar pada otak seseorang. Jadi
bila pengertian mati dengan hilangnya denyut nadi zaman dulu, mungkin di zaman
sekarang ini orang itu masih hidup. Semua
orangberkeyakinan bahwa mati adalah perginya
“diri” atau jiwa meninggalkan tubuh jasmani yang hidup di bumi ini.[22]
Kematian atau mati merupakan suatu fenomena yang harus disadari karena adanya
realitas itu sendiri. Kesadaran dalam hal ini diartikan kesadaran akan…
sesuatu, yakni kesadaran akan kematian. Kesadaran berdasarkan kodratnya
bersifat intensionalitas; intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran. Kesadaran
ditandai dengan intensionalitas, dan fenomena harus di mengerti sebagai apa yang
menampakkan diri. Kedua istilah intensionalitas dan fenomena ini erat
kaitannya, untuk memahaminya menggunakan “konstitusi”. Dalam arti,
fenomena-fenomena mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Adanya korelasi antara
realitas dan kesadaran dapat dikatakan konstitusi merupakan aktivitas kesadaran
yang memungkinkan tampaknya realitas.[23]
Dalam bukunya Heidegger tentang Dialektika
kesadaran Presfektif Hegel, menjelaskan tentang adanya kesadaran
pengetahuan fenomenal yang menuju pada jalan setapak kesadaran alamiah ke arah
ilmu, sehingga menyajikan diri sebagai pengetahuan yang sejati. Makna itu
berkaitan juga dengan kesadaran akan kematian pada diri seseorang menuju pada
Yang Maha Kuasa. Kesadaran itu akan menimbulkan kesadaran yang palsu di sepanjang jalan, dan jalan setapak ini
merupakan jalan pemurnian jiwa menjadi roh. Jalan setapak ini dideskripsikan
berjalan sejajar dengan fenomena-fenomena, maka ia adalah jalan setapak
pengalaman. Dan jalan setapak pengalaman ini mengantar secara tahap demi tahap
masuk dalam wilayah ilmu filsafat. Merujuk pada apa yang diyakini ada di
hadapannya pada saat tertentu dengan keyakinan yang relatif. Keyakinan relatif
ini mengarah pada pengetahuan absolut. Apa yang menyajikan dirinya di hadapan
kesadaran alamiah dengan nama pengetahuan fenomenal belaka, yang diduga
menghasilkan pengetahuan yang sejati, yakni kemiripan belaka. Semua diyakini
dalam filsafat bahwa fenomenologi Roh merupakan suatu intinerarium, deskripsi
sebuah perjalanan dan membawa kesadaran sehari-hari menuju pada pengetahuan filsafat
yang ilmiah.[24]
Kaitannya dengan kematian yang dijalani
setiap mahluk ialah perginya diri, jiwa, maupun roh meninggalkan tubuh jasmani
yang hidup di bumi ini. Roh disini diartikan tidak ada kaitannya dengan tubuh atau
pun jasad, karena dua unsur ini memiliki sifat yang berbeda. Sifat pertama:
tubuh membutuhkan roh untuk hidup. Sifat kedua: roh tidak membutuhkan jasad
untuk hidup, karena roh bisa hidup dan berdiri-sendiri.[25] Menurut
pendapat Socrates mengenai roh, bahwa roh merupakan unsur yang dapat berdiri-sendiri,
dalam arti tidak tergantung pada zat yang lainnya. Roh memiliki sifat
Ketuhanan, ia mulia dan tinggi, misalnya dalam pemerintahan ia laksana seorang
raja yang memerintah, sedangkan tubuh adalah obyek yang diperintah. Badan bisa
rusak sedangkan roh tidak bisa sekalipun ia berpisah dengan jasad. Kalau pada
masa kehidupannya jasad sering melakukan kejelekan (tentunya bersama roh), maka
nantinya roh yang akan menerima kesengsaraannya.[26]
Setelah nantinya manusia itu mati dan
meninggalkan kehidupan di dunia, maka selanjutnya ia akan hidup di
alam kubur, dalam arti alam barzah. Allah telah membagi kehidupan menjadi tiga
tempat tinggal yakni, hidup di dunia, hidup di alam barzah dan hidup di alam
akherat yang kekal abadi. Alam barzah merupakan rumah akherat yang pertama,
manusia akan ditempatkan disana selama hari kiamat tiba guna merasakan nikmat
dan azabnya alam barzah. Barzah berarti pemisah atau batas di antara dua benda,
yaitu waktu sesudah mati dan sampai datangnya hari kiamat. Orang yang sudah
mati, ruhul ma’ani-nya masuk dalam alam barzakh, disinilah tempat adanya
pertanyaan, siksaan, serta nikmatnya kubur.[27]
Kematian dan kehidupan tidak dapat dihindari
oleh semua mahluk dan harus menerima apa adanya. Manusia harus mampu dan berani
dalam menerima kenyataan bahwa hidup dan berakhir pada kematian. Bukan jiwa dan
roh yang ia perlihatkan pada orang lain di dunia melainkan eksistensinya karena
ia hidup di dunia. Lebih jelasnya bukanlah esensi yang didahulukan melainkan
eksistensi yang didahulukan. Menurut Heidegger, manusia di dunia begitu saja
tanpa tahu dari mana dan ke mana? Pernyataan itu bisa disebut juga dengan
istilah ‘faktisitas’ kenyataannya bahwa manusia bersifat niscaya. Manusia tidak
pernah ditanya, apakah dia ingin hidup atau mati. Manusia “begitu saja”, “ada
di sana” ada di dalam dunia. Martin Heidegger menyebutnya sebagai
“keterlemparan” (gowerfen-sein). Manusia tidak diakibatkan oleh diriya,
malainkan ia muncul dari asalnya, yaitu terserah kepada dirinya, untuk meng-ada
sebagai diri ini atau itu. Ia dilemparkan ke dalam keberadaan itu sebagai yang
bertanggung jawab atas adanya dirinya yang tidak diciptakan dengan sendirinya
itu.[28] Menurut
Heidegger, kematian adalah merupakan segala kemungkinan kita dan kemungkinan
itu yang kita sadari dalam arti memahami (verstehen) kematian itu
sendiri. Kematian merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipatahkan dengan
keberadaan kita sebagai manusia. Manusia tahu bahwa ia akan mati, dan kematian
di sini bukan akhir dari kehidupan seperti halnya buku yang sampai pada
penutupnya, yakni tamat.[29]
Manusia dapat dipahami hanya sebagai ada-di
dunia, dan bahwa kebebasan yang dimilikinya merupakan kebebasan yang dibatasi
oleh ruang hidupnya. Kebebasan itu sendiri merupakan pendirian merekayang
berbeda-beda. Mungkinkah kebebasan merupakan sesuatu yang tertinggi, sehingga
manusia yang ada di dunia ini semata-mata demi kebebasan? Hal ini menyebabkan
Sartre menyimpulkan bahwa hidup ini sesungguhnya bersifat ganjil (absurd).
Menurut Heidegger, ingin menyumbangkan dualisme ajaran Descartes sampai pada
akar-akarnya; sementara itu Sarte mengembangkan dan menjabarkan seluas-luasnya.
Dasar itulah memunculkan perbedaan yang menyangkut masalah kesadaran. Menurut Sartre kesadaran
mempunyai arti yang sama, seperti yang diajarkan oleh Descartes. Sementara itu
Heidegger menghindari pemakaian kata tersebut, karena didalam sejarah terlampau
beraneka warna pengertian yang dikandungnya.[30]
Kematian pada hakekatnya berarti berpisahnya ruh dengan tubuh dan
berubahnya keadaan semata-mata karena disiksa atau mendapat kenikmatan. Kematian
dalam hal ini menurut pandangan agama, dirampasnya semua harta-hartanya dan
diusir kealam lain yang tidak sesuai dengan alam dunia.[31] Terputusnya
tindakan manusia dari tubuh sebagai alat yang dipakai dalam menjalani kehidupan
di dunia, maka akan lupuh semua seluruh tubuh itu dan tidak bisa berfungsi
sebagaimana sebelumnya. Banyak yang mengartikan kematian yang ditinjau dari
sudut pandang agama berbagai macam pengertian. Hakekat kematian merupakan akhir
ataupun kesimpulan dari pengertian kematian itu sendiri. Pandangan agama lebih
menjelaskan kematian sebagai jalan menuju kehidupan ke-dua setelah di dunia. Kematian
merupakan jalan dimana manusia telah berpindah alam dari alam yang sebelumnya
kealam yang selanjutnya, yakni alam akherat.
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat penelitian pustaka (Library
Research), jenis penelitian ini adalah kualitatif, penelitian ini mengikuti
cara dan arah pikiran seorang tokoh filsuf dalam karyanya maupun yang membahas
konsep tersebut. Sumber data yang diperlukan untuk penyusunan skripsi ini
terdapat di dalam buku-buku primer dan sekunder.
2. Sumber Data
Untuk melakukan penelitian ini diperlukan dua jenis
sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data skunder. Sumber data
primer dalam penelitian ini antara lain:
a. Martin Heidegger. Terj. Saut Pasaribu. Dialektika
Kesadaran Presfektif Hegel. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
b. Martin Heidegger. Being and Time.
Diterjemahkan oleh John Macquuarrie and Edward Robinson. New York:
Harper & Row, 1962. (Seind und Zeit, 1927).
c. Martin Heidegger. What Is
Philosophy? Edisi dua bahasa. Terjemahan oleh
William Kluback dan Jean T. Wilde, New Haven, Connecticut: College &
University Press, 1958. (Was ist das-die Philosophie? 1956)
Sedangkan sumber data sekunder yaitu semua buku yang
berhubungan dengan judul yang peneliti teliti.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Pertama, diadakan pelacakan dan pencarian literatur
yang bersangkutan dengan penelitian. Kemudian dari literatur tersebut diadakan
pemilahan sumber data primer dan skunder.
b.
Setelah literatur terkumpul, diadakan penelaahan yang disesuaikan
dengan aspek-aspek yang akan dibahas.
c.
Pemilahan dilakukan atas pokok-pokok permasalahan, sehingga
pemikiran yang dibahas tersusun sitematis.
d.
Tahap pengumpulan data yang terakhir dilakukan pengolahan data.
4. Metode Analisi Data
Setelah data terkumpul maka langkah-langkah yang
penulis lakukan ialah melakukan klasifikasi disesuaikan dengan bahan yang akan
dibahas dan dilanjutkan dengan pengolahan data. Tehnik pengolahan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini yaitu menggabungkan metode penelitian dengan
filsafat.
a.
Metode Historis
Menganalisa sejarah seorang tokoh serta menguraikan
perjalanan hidup seorang tokoh dan pemikiran yang melatar belakangi munculnya
sebuah pemikiran dan ideologi dari tokoh tersebut, serta pemaknaan yang
berhubungan dengan dunia diluar, yakni filsafat dan ideologi lainnya.
b.
Metode deskripsi
Menguraikan dan membahas secara teratur pemikiran tokoh
yang dimaksud, tentunya berkenaan dengan judul tersebut dengan tujuan
mendapatkan suatu pemahaman yang benar dan lebih jauh diharapkan dapat
melahirkan suatu pemahaman baru dari pemikiran tersebut.
c.
Metode Verstehen (memahami)
Metode ini dipakai untuk memahami bangunan pemikiran
dan pemaknaan seorang tokoh, dokumen dan yang lain secara mendalam tanpa ada
keterlibatan peneliti untuk menafsirkannya.[32]
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Sistematika skripsi secara substansial
terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu bagian awal, bagian isi/inti, dan bagian
akhir. Setiap bagian terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan harus
ada di dalam naskah skripsi. Berikut bagian-bagian yang ada di dalam naskah
skripsi dengan judul; Hakekat Kematian Manusia Menurut Martin Heidegger.
Bagian Awal; dengan sub pembahasan dari
Halaman Sampul, Halam Judul, Halaman Pernyataan Keaslian, Nota Dinas, Halaman
Pengesahan, Pedoman Transliterasi, Abstrak, Motto, Persembahan, Kata Pengantar,
Daftar Isi
Bagian Tengah; terdiri dari Bab I
Pendahuluan dengan sub pembahasan Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teori, Metode
Penelitian, Dan Sistematika Pembahasan.
Bab II Biografi Martin Heidegger dengan sub
pembahasan riwayat hidup Martin Heidegger dab beberapa karya-karyanya.
Bab III Teori Kematian dengan sub
pembahasan Makna hidup dan mati, Alam Kematian di Dunia, Jalan Menuju Kematian.
Bab IV Arti Kematian dengan sub pembahasan
Kematian Menurut Heidegger, Kematian Prespektif Agama, dan Relevansi terhadap
Agama Islam.
Bab V Penutup dengan sub bab kesimpulan dan
saran.
Bagian Akhir; terdiri dari Daftar Pustaka
dan Curriculum Vitae
[2]Zubaedi, dkk. Filsafat Barat Dari Logik Baru
Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2010). hal. 154
[4]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak
Thales Sampai James. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998). hal. 191
[9]Muhammad Sholikhin, Sambut Kematian dengan Tersenyum, hal. 32
[13]Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, (Jakarta: Noura
Books, 2012). h. 83
[16]Ibid.
[24]Martin Heidegger, Dialektika Kesadaran Presfektif Hegel (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002). hal. 54.
[32] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian
Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar